Pangan lokal Sulawesi Tenggara yaitu Sinonggi, Kambose, Kasoami , dan Kabuto telah di populerkan dengan akronim SIKKATO. Sikkato merupakan produk budaya karena pangan merupakan hasil adaptasi aktif antara manusia dengan lingkungannya.
Sinonggi terbuat dari sari pati sagu, kambose berbahan baku jagung sedangkan kasoami dan kabuto dari ubi kayu. Berdasarkan sumber bahan bakunya terbentuk garis batas (demarkasi) geografis dan budaya karena daya dukung tumbuhnya.
Demarkasi geografis dipengaruhi oleh kondisi agroeokologi dimana tanaman sagu banyak di temukan di daerah rawa wilayah daratan, sedangkan jagung dan ubi kayu masih dapat dikembangkan di wilayah kepulauan yang beriklim kering dan lahan berbatu.
Demarkasi budaya pangan lokal sinonggi sebagai makanan khas suku Tolaki yang berada di wilayah daratan, sedangkan kambose, kasoami, kabuto menjadi makanan khas suku Muna dan Buton di wilayah kepulauan. Sangat tepat jika perwujudan ketahanan pangan harus bertumpu pada sumber daya dan kearifan lokal. Pangan lokal menjadi media dalam mengembangkan budaya dan peradaban bangsa. Dalam perencanaan penyediaan pangan, tentunya mengacu pada peningkatan kemampuan produksi dan permintaan pangan (daya beli dan preferensi konsumen) yang didukung oleh pengetahuan, pemahaman dan kesadaran masyarakat.
Ketimpangan Produksi
Produksi jagung dan ubi kayu terus mengalami perkembangan baik dari sisi luasan, produktivitas dan teknologi budidaya. Dengan kata lain, ketersediaan bahan baku untuk pangan lokal kambose, kasoami dan kabuto tidak mengkhawatirkan. Penemuan berbagai jenis varietas dan peningkatan teknik budidaya terus dikembangkan. Berbanding terbalik dengan produksi sagu, meskipun memiliki kelebihan dalam usaha budidayanya. Dari sisi agronomi, sagu dapat tumbuh di daerah rawa dan lahan gambut dimana tanaman pangan lain tidak dapat tumbuh.
Selain itu, tidak diperlukan pemeliharaan yang intensif dibandingkan tanaman pangan lainnya. Masa umur panen 8 – 10 tahun dianggap terlalu lama, namun setelah itu dapat di panen secara terus-menerus tanpa memperbaharu pertanaman karena banyak anakan baru yang terbentuk.
Dalam orasi ilmiah Prof. Dr. Ir. Barahima Abbas, MSi dari Universitas Papua mengemukakan potensi produksi. Jenis sagu unggul Papua memiliki kemampuan menghasilkan pati kering antara 300 – 500 kg/ pohon. Bila jarak tanam 9 m x 9 m maka terdapat 123 rumpun/ha, sehingga didapat 49 ton pati sagu per hektar dengan asumsi setiap pohon rata-rata menghasilkan pati 400 kg/pohon setelah jangka waktu 8 -10 tahun. Selanjutnya akan dihasilkan 49 ton/ha /tahun dengan asumsi hanya satu pohon yang dapat di panen per rumpun per tahun. Jika harga tepung pati sagu kering Rp. 10.000 per kg, maka dalam satu pohon sagu bernilai Rp 4.000.000. Selanjutnya estimasi tingkat kehilangan nilai ekonomi yang dihasilkan pada hutan sagu Papua akibat fase lewat tebang (mati secara alamiah) 18 pohon/Ha, maka dengan luasan 1,2 Juta Hektar diperoleh 21,6 juta pohon yang hilang percuma yang setara dengan
34,56 triliun. Fakta ini menunjukkan komoditas sagu masih dikesampingkan dan belum tergarap secara maksimal.
Fenomena serupa juga terjadi di Sulawesi Tenggara. Sagu belum dikembangkan dengan baik, produksi masih didominasi dari pengambilan di alam dengan pengolahan yang sederhana. Di sisi lain, alokasi tata ruang untuk pengembangan tanaman sagu juga belum terpetakan di tengah laju konversi lahan dan degradasi daerah aliran sungai yang semakin meningkat.
Ketimpangan Konsumsi
Telah terjadi pergeseran pola konsumsi sagu. Bagi suku Tolaki, sinonggi dulu menjadi makanan pokok, tetapi saat ini telah menjadi makanan sekunder pengganti beras pada masa paceklik. Sampai dengan 2019 konsumsi pangan sagu sangat kecil, yakni hanya 0,4 kg – 0,5 kg/kapita/tahun (Badan Ketahanan Pangan, 2021) dibandingkan beras 111, 58 kg/kapita/tahun (BPS, 2018). Kajian Bananiek dan Abidin di tahun 2014 menunjukkan, preverensi konsumsi sagu masyarakat Kota Kendari pada kisaran umur 36 – 60 tahun mencapai 75,3% sedangkan pada kisaran umur 20 – 35 tahun mencapai 21,3%. Ini menggambarkan bahwa terjadi penurunan yang sangat signifikan. Sayangnya, belum diperoleh informasi yang berhubungan dengan tingkat pendapatan konsumen sinonggi yang dapat menggambarkan strata sosial konsumennya, sebagai ukuran “gengsi” makan sinonggi.
Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan, generasi 90-an masih cenderung mengenal dan mengkonsumsi sinonggi sebagai makanan daerahnya. Namun seiring dengan perkembangan teknologi, generasi milenial lebih mengenal berbagai makanan cepat saji dengan promosi, penyajian dan tempat makan yang jauh lebih menarik dan bergengsi. Kondisi ini dapat menyebabkan pakan lokal sinonggi, juga kasoami dan kabuto semakin cepat dilupakan, tergerus waktu dan zaman.
Perencanaan ke Depan
Dalam perencanaan penyediaan pangan lokal, tentu mengacu pada peningkatan kemampuan produksi dan permintaan pangan (daya beli dan preferensi konsumen). UU No. 17/2007 tentang RPJPN 2005-2025 dan UU No. 18/2012 tentang Pangan mengamanatkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah berkewajiban meningkatkan pemenuhan kuantitas dan kualitas pangan masyarakat. Dalam pertemuan Masyarakat Sagu Indonesia (MASI) dengan DPR RI pada 11 April 2017 di Jakarta ditanyakan mengapa komoditas sagu tidak menjadi prioritas nasional untuk dikembangkan, jawaban anggota DPR singkat saja yaitu tidak ada daerah yang mengusulkan untuk dikembangkan. Hal tersebut menjadi indikator bahwa keberpihakan dan fokus kebijakan belum sepenuhnya mengarah pada pengembangan komoditas sagu sebagai pangan lokal yang telah menjadi peradaban budaya masyarakat.
Penataan tata ruang wilayah sudah harus menggambarkan lokasi sebaran wilayah tanaman sagu yang dilindungi untuk peruntukkan lainnya dan rencana alokasi ruang untuk pengembangannya. Tentunya perlindungan daerah aliran sungai menjadi bagian yang tidak terpisahkan untuk menunjang pertumbuhan tanaman sagu. Kebijakan insentif pajak, kemudahan perizinan bahkan pembebasan pungutan/retribusi sangat diperlukan untuk menarik minat investasi. Setidaknya pemerintah telah terbantu untuk memenuhi tanggungjawabnya dalam penyediaan pangan dan mengatasi pengganguran. Pun pada akhirnya pemerintah tetap memperoleh pendapatan tidak langsung dari penjualan dan peningkatan nilai tambah lainnya. Peran akademisi, peneliti dan masyarakat juga menjadi komponen penting dalam keberlangsungan pembangunan komoditas sagu. (*)