KENDARI, BKK – Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) telah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI sebagai Undang-Undang (UU). Namun, ada 17 pasal yang terkandung di dalamnya dinilai bermasalah dan akan menghambat kerja-kerja jurnalis.
Menyikapi hal ini, Selasa (6/12), sejumlah jurnalis di Kota Kendari yang tergabung di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kendari dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menggelar unjuk rasa di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Tenggara (Sultra). Mereka melakukan aksi lakban mulut sebagai simbol bahwa negara lewat RKUHP telah membungkam kebebasan rakyat.
Sekretaris AJI Kendari Ramadhan menjelaskan, AJI menemukan 17 pasal bermasalah dalam draft RKUHP versi 30 November 2022 berpotensi mengkriminalisasi jurnalis dan mengancam kebebasan pers, kemerdekaan berpendapat dan berekspresi.
Dengan demikian, meski RKUHP sudah disahkan di DPR RI, 17 pasal bermasalah itu tetap harus terus ditolak.
“Ada 17 pasal yang jadi sorotan kami selama ini. Kami minta komitmen DPRD Sultra untuk mendengarkan apa yang kami perjuangkan dan bersama-sama dengan kami demi kepentingan seluruh rakyat Indonesia,” ujar Ramadhan.
Ketua DPRD Sultra H Abdurrahman yang menemui sejumlah jurnalis itu pun, turut menyatakan menolak RKUHP dimaksud. Menurut dia, pers tidak boleh dikekang karena memiliki peran untuk melakukan cek dan ricek terhadap kebenaran.
“Ada beberapa memang yang melemahkan dalam kita ber-Indonesia. Untuk itu, DPRD Sulawesi Tenggara berdasarkan aspirasi yang datang pada siang hari ini kami menolak RKUHP yang bermasalah,” ujar Abdurrahman.
Sebagai tindak lanjut, dia mengaku akan membuat surat untuk dikirimkan ke pusat yang berkaitan dengan pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP. Hal ini sekaligus menandakan bahwa masyarakat Sultra memiliki hak untuk menyuarakan kepentingan-kepentingan yang terjadi di Indonesia.
“Semoga perjuangan ini tidak pernah lelah dan kita yakin bahwa perjuangan ini tidak akan sia-sia. Kita akan sebarkan se-Indonesia bahwa Sultra konsisten dan komitmen untuk melawan hal-hal yang tidak benar,” ujarnya.
Adanya 17 pasal yang ditemukan bermasalah, sebutnya, maka pemerintah dan DPR harus mencermati adanya problem. Yang harus dipikirkan adalah dampak ke depan dari adanya pasal-pasal dalam RKUHP tersebut.
Dia yakin bahwa RKUHP ini masih banyak rakyat Indonesia yang tidak paham, padahal di dalamnya harus dipastikan tidak melanggar hak asasi manusia, dan pelanggaran terhadap keadilan.
Dengan adanya kelompok masyarakat sipil yang memahami dan tahu ada pasal-pasal bermasalah di dalamnya, maka DPRD Sultra mendukung aspirasi ini.
“Dengan adanya undang-undang ini bukan hanya untuk memberikan kesadaran hukum kepada masyarakat malah bisa menjadi bumerang bagi kita semua dalam berbangsa dan bernegara. Dengan adanya aksi ini, kita mencermati dan melihat itu harus ditolak dan harus diterima oleh DPR RI bahwa ada sesuatu yang keliru sehingga harus bisa dibenahi dengan baik,” ujar Legislator PAN ini.
Sementara itu, Koordinator Aksi La Ode Kasman menjelaskan bahwa 17 pasal bermasah itu di dalamnya ada yang mengancam kebebasan pers, kebebasan berpendapat, maupun kebebasan dalam berdemokrasi.
“Dalam pasal-pasal bermasalah ini substansinya masih multitafsir. Banyak pasal karet yang di dalamnya itu dapat melanggar HAM karena masyarakat sipil itu tidak bisa lagi melakukan kritik terhadap pemerintah, pemangku kebijakan. Kita akan dibungkan dengan semua itu bahkan jurnalis juga akan terbungkam,” ungkap Kasman.
Untuk diketahui, 17 pasal yang dimaksud yakni Pasal 188 yang mengatur tentang tindak pidana penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Kemudian, Pasal 218, Pasal 219 dan Pasal 220 yang mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 240 dan Pasal 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap Pemerintah.
Pasal 263 yang mengatur tindak pidana penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong.
Pasal 264 yang mengatur tindak pindana kepada setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap.
Pasal 280 yag mengatur tentang gangguan dan penyesatan proses peradilan.
Pasal 300, Pasal 301 dan Pasal 302 yang memuat tentang tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan.
Pasal 436 yang mengatur tindak pidana penghinaan ringan. Pasal 433 mengatur tindak pidana pencemaran.
Pasal 439 mengatur tindak pidana pencemaran orang mati. Pasal 594 dan Pasal 595 mengatur tindak pidana penerbitan dan pencetakan. (cr2/ada)