KENDARI, BKK – Pihak Universitas Halu Oleo (UHO) mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara (Sultra), setelah kalah di Pengadilan Negeri (PN) Kendari dalam perkara penyerobotan lahan.
Dalam perkara di PN Kendari, UHO sebagai tergugat atas gugatan seorang warga bernama Sugiati atas lahan yang terletak di Jalan Prof Dr Abd Rauf Tarimana Kelurahan Kambu Kecamatan Kambu Kota Kendari
Ramadani SH MH selaku Tim Kuasa Hukum UHO mengatakan, pihaknya mengajukan banding karena keberatan dengan putusan PN Kendari yang memenangkan pihak penggugat. Menurutnya, banyak hal yang menjadi pertimbangan putusan yang tidak sesuai dengan pembuktian di persidangan.
“Gugatan penggugat bukan terkait dengan dengan pembatalan sertifikat hak pakar milik tergugat, melainkan menyatakan surat-surat tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat terhadap objek sengketa,” kata Ramadani, Seni (16/1).
Dijelaskan, secara nyata penggugat meminta agar Majelis Hakim PN Kendari menyatakan sertifikat tanah dan akta-akta serta surat-surat lainnya yang menyangkut obyek sangketa yang dimiliki tergugat, dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum serta tidak mengikat. Padahal, semua surat-surat yang dimaksud adalah sah memiliki kwalifikasi.
Selain itu, menurutnya, terdapat juga pertimbangan Majelis Hakim PN Kendari terkait eksepsi yang menyatakan bahwa tergugat dalam jawabannya mengajukan gugatan yang tidak jelas, dikarenakan tidak samanya batas tanah dahulu dan sekarang serta kapan dan siapa yang membuat pelebaran jalan.
“Bahwa sesuai dengan fakta pembuktian di persidangan pembanding memiliki empat bidang tanah yaitu Sertifikat Hak Pakai No. 20 Tahun 1993 seluas 2.297.578 M2 (Bukti T-3 dan T-4), Sertifikat Hak Pakai No. 21 Tahun 1993 seluas 58 300 M2 (Bukti T-5), Sertifikat Hak Pakai No. 22 Tahun 1993 seluas 90.478 M2 (Bukti T-8) dan Sertifikat Hak Pakai No. 23 Tahun 1993 seluas 101.222 M2 (Bukti T-7),” beberanya.
Sementara itu, Tim Kuasa Hukum UHO lainnya, Herman mengatakan, pihaknya telah mengantongi sertifikat tanah sengketa itu sejak 1981. Tanah tersebut juga telah dikuasai dengan melakukan pemagaran di sekeliling tanah tersebut.
“Tiba-tiba ada orang yang menyatakan bahwa itu miliknya dengan alasan hak yang dimilikinya itu berdasarkan surat keterangan tanah (SKT) tahun 1979. SKT itu dipertimbangkan sebagai kepemilikan kalau dia kuasai selama 20 tahun berturut-turut, namun faktanya penggugat tidak pernah menguasai tanah tersebut karena dipagari sejak dulu,” ungkapnya.
Dia menambahkan, anehnya SKT yang diajukan di pengadilan hanya selembar foto copy yang pada saat dimintai aslinya dikatakan telah hilang. SKT tersebut juga ditandatangani Kepala desa Kambu saat itu yang bernama Konggoasa. Namun pada tahun 1982 saat pembebasan tanah, Konggoasa juga masuk dalam tim pembebasan tanah dan juga menandatangani di atas tanah tersebut tidak terdapat nama penggugat.
“Jadi orang yang sama yang mendatangi tidak terdapat nama penggugat. Harusnya dalam hukum administrasi, surat yang terbaru itu bisa mengesampingkan surat yang lama atau dengan kata lain dianggap bahwa apa yang menjadi keterangan dari SKT itu tidak berlaku lagi,” pungkasnya. (din/ada)