UNAAHA, BKK – Proyek Pembangunan ambang ukur irigasi oleh Balai Wilayah Sulawesi (BWS) wilayah IV Kendari di wilayah persawahan Ameroro, Kecamatan Uepai, Kabupaten Konawe membawa petaka bagi sejumlah petani setempat.
Pasalnya, keberadaan fasilitas irigasi ini tidak memberikan asas manfaat, tapi justru menghambat aktivitas kegiatan pertanian yang berdampak terhadap terjadinya gagal tanam di awal musim tanam (MT 2) tahun 2025 ini. Atas dasar itu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Konawe telah mengeluarkan rekomendasi pembongkaran fasilitas irigasi yang dimaksud.
Hal itu diungkapkan, Koordinator Aliansi Pemuda dan Mahasiswa Konawe Bersatu, Asmadan usai mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) di gedung DPRD Konawe, Kamis (10/4).
RDP tersebut dipimpin Ketua Komisi II Eko Saputra Jaya didampingi anggota lainnya. Turut hadir pihak BWS wilayah IV Kendari, dan sejumlah kelompok tani serta masyarakat setempat yang terdampak atas proyek pembangunan bangunan ambang ukur irigasi itu.
“Jadi, hasil RDP itu telah mengeluarkan tiga poin. Yakni akan dilakukan pembongkaran atau menurunkan elevasi bangunan ambang ukur yang sudah dibangun (BWS wilayah IV Kendari) itu. Kemudian melakukan evaluasi kinerja Satker BWS setempat. Serta pihak DPRD menjamin tidak akan ada penutupan air bagi para petani sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan oleh pemerintah, selama petani masih membutuhkan air untuk mengaliri lahan pertaniannnya saat melakukan kegiatan penanaman padi,” jelasnya.
Terhadap pembongkaran fasilitas irigasi itu, kata dia, DPRD Konawe memberikan waktu 1×24 jam. Dimana pembongkaran akan dilakukan oleh pihak BWS itu sendiri. Dan hal itu telah disepakati bersama secara tertulis yang disaksikan oleh seluruh stakeholder yang hadir dalam RDP ini.
Dikatakannya, ambang ukur air irigasi adalah bangunan yang digunakan untuk mengukur dan membagi debit air yang akan didistribusikan ke lahan pertanian. Tetapi sejak dibangunnya fasilitas ini, menjadi persoalan karena debit air yang mengalir tidak merata, justru tidak sampai ke areal persawahan.
“Sebelum adanya pintu ambang ukur irgasi ini, aliran air yang masuk ke areal persawahan normal-normal saja. Tapi sekarang berbeda, justru pengunaan air terbatas. Sementara saat ini petani sangat membutuhkan aliran air yang memadai untuk menanam padi yang sudah masuk jadwal tanam secara serentak ini. Jadi fasilitas ini tidak memberikan asas manfaat. Yah. Lebih baik dibongkar saja,” tuturnya.
Ia menambahkan, pembangunan ambang ukur irigasi yang dibangun pada Desember 2024 lalu, seakan dipaksakan. Karena seharusnya, kata dia, untuk memaksimalkan kegiatan pertanian di wilayah setempat perlu diprioritaskan perbaikan saluran tersier. Karena saluran tersier ini yang membawa air dari saluran sekunder langsung ke petak-petak persawahan.
Di tempat yang sama, salah satu petani, Astamar, yang juga Ketua Kelompok Tani Sumber Rezeki mengatakan, hamparan sawah yang mengalami dampak atas kurangnya pasokan air itu meliputi tiga kelompok tani. Yakni P3A Sumber Rejeki seluas 78 hektare fungsional, P3A Saromase seluas 30 hektare fungsional, dan P3A Humboto seluas 35 hektare fungsional.
“Selama ini kami tidak pernah ada masalah terkait dengan pasokan air yang masuk di areah persawahan. Justru pada musim MT 1 yang lalu,kami (petani) binggung mau membuang air kemana. Tapi sekarang ini kebalikannya, kami binggung mau mengambil air kemana. Yah, kalau petani yang mempunyai pompa air bisa mengambil alternatif menarik air dari rawa. Tapi yang tidak punya, maka harus menunggu giliran,” ujarnya.
Ia mengaku, sampai saat ini dirinya masih belum mengetahui alasan BWS membatasi pasokan air untuk masuk ke areal persawahan. Karena menurutnya, volume air begitu besar mengalir dari bendungan induk, sementara yang tiba dipersawahan justru debit airnya terbatas.
“Memang keberadaan fasilitas irigasi itu menjadi permasalahan khususnya bagi kami (petani) di Uepai. Jadi karena kami anggap tidak memiliki fungsi dan manfaat untuk keberlangsungan aktifitas pertanian, maka sebaiknya tidak fungsikan atau dibongkar saja,” tutupnya. (irm/nir)