Kendari, BKK– Di tengah gempuran zaman modern dan produksi massal serba cepat, masih ada sekelompok perempuan tua di Pulau Buton yang dengan sabar mengolah tanah liat menjadi karya seni bernilai sejarah tinggi. Mereka adalah Pomanduno, sebutan lokal untuk para pengrajin gerabah tradisional yang kini tinggal menghitung usia dan jumlahnya.
Berdasarkan penelitian akademisi Rustam Awat dari Universitas Dayanu Ikhsanuddin, pada tahun 2024 hanya tersisa 17 Pomanduno aktif. Mayoritas di antaranya adalah perempuan berusia 60 tahun ke atas. Mereka adalah generasi terakhir yang masih menguasai teknik kuno bernama Tatap Landas, metode pembuatan gerabah yang telah diwariskan turun-temurun sejak lebih dari 500 tahun lalu.
Teknik pembuatan gerabah Tatap Landas diyakini sudah ada sejak masa pemerintahan Sultan Murhum, Sultan pertama Kerajaan Buton pada abad ke-16. Kala itu, perintah kerajaan memunculkan berbagai pusat produksi alat kebutuhan istana. Salah satunya berada di kawasan Katobengke, yang ditugaskan khusus untuk membuat gerabah seperti periuk, penampung air, dan wadah penyimpan beras.
Menariknya, sejak masa lampau hingga kini, pengrajin gerabah di Buton selalu dilakukan oleh kaum perempuan. Selain karena gerabah berkaitan erat dengan aktivitas rumah tangga, nilai tukarnya di masa lalu juga sangat penting—bahkan bisa ditukar dengan pangan seperti jagung dan singkong.
Lebih dari sekadar perkakas dapur, gerabah Buton juga memiliki fungsi sakral dalam upacara adat, seperti prosesi pingitan, pernikahan, hingga kematian. Setiap bentuk dan penggunaannya menyimpan makna simbolik yang kuat dalam budaya masyarakat Buton.
Proses membuat gerabah Tatap Landas adalah perpaduan antara keterampilan tangan dan rasa seni alami. Dimulai dengan mengumpulkan tanah liat murni, lalu merendamnya selama dua hari, para Pomanduno akan menguleni tanah itu dengan tangan, dibantu alat pemukul kayu. Gerabah dibentuk secara manual, satu demi satu, tanpa roda putar atau cetakan modern.
Setelah dibentuk, gerabah dijemur di bawah sinar matahari, lalu dibakar hingga matang dan berwarna cokelat kemerahan. Tahap akhir adalah memberi lukisan garis-garis sederhana sebagai ornamen khas yang menambah keindahan alami gerabah.
Meski prosesnya berat dan nilainya kini tak sebanding dengan kerja keras, para Pomanduno tetap melakukannya—bukan sekadar untuk bertahan hidup, tapi juga untuk melestarikan warisan leluhur yang makin hari makin rapuh.
Ini bukan hanya tentang gerabah. Ini tentang melihat sejarah yang masih hidup, disentuh oleh tangan renta, tapi teguh menjaga warisan. (adv)