Tenun Pajam Wakatobi: Simfoni Benang dari Kaledupa

  • Bagikan
: Perempuan penenun kain Pajam Wakatobi. (Foto: pesona.travel)

Kendari, BKK- Dari sebuah desa kecil di Kaledupa, Wakatobi, lahir sebuah karya yang menyatukan ketekunan, kearifan lokal, dan estetika tinggi: Tenun Pajam. Kain ini bukan sekadar hasil kerajinan tangan, tetapi manifestasi budaya yang diwariskan turun-temurun oleh para perempuan di Desa Pajam—sebuah desa tenun yang kaya akan sejarah dan spiritualitas.

Asal-Usul dan Sejarah

Desa Pajam adalah hasil penggabungan dua kampung tua, Pale’a dan Jamarakka, sejak tahun 1987. Wilayah ini dulunya merupakan bagian penting dari kerajaan Kahedupa di bawah Kesultanan Buton. Tenun telah lama menjadi warisan para perempuan Kahedupa sebagai bagian dari tradisi sandang, simbol kematangan, dan kesiapan berkeluarga. Dahulu, menenun bukan hanya kewajiban, tapi juga kehormatan.

Pada tahun 2021, Desa Pajam resmi dinobatkan sebagai **Desa Wisata Tenun**. Sejak itu, geliat ekonomi, pelestarian budaya, dan pariwisata tumbuh pesat. Wisatawan lokal dan mancanegara mulai berdatangan untuk belajar langsung dari tangan-tangan terampil para penenun.

Ragam Motif dan Filosofinya

Motif dalam Tenun Pajam tidak hanya artistik tetapi juga sarat makna:

* Motif Pa’a (bentuk tanda plus): Melambangkan empat penjuru mata angin, menjadi simbol keselarasan manusia dengan alam semesta. Motif ini mencerminkan keseimbangan dan arah hidup yang terjaga.

* Motif Ha (bentuk pagar atau kotak): Menggambarkan pertahanan dan struktur sosial, terinspirasi dari arsitektur benteng Kesultanan Buton. Ini adalah perlambang perlindungan dan keteraturan.

* Motif Bhoke (tangkai bunga): Motif klasik khas kampung Pale’a, identik dengan perempuan. Dulu hanya penenun tertentu yang tahu detail jumlah dan pola bhoke. Ia melambangkan kesuburan, kelembutan, dan keindahan alam perempuan.

* Garis & Kotak Sederhana: Biasanya untuk pakaian laki-laki, menyiratkan fungsi dan peran sosial yang lugas, stabil, dan bijak.

Warna dan Makna Simbolik

Warna dalam Tenun Pajam bukanlah pilihan acak. Ia membawa pesan:

* Merah: Energi, semangat hidup, dan keberanian.

* Biru tua atau hitam: Keteguhan hati dan kedalaman makna.

* Putih: Kesucian dan awal baru.

* Emas dan perak (metallic): Menandai sentuhan modern sekaligus simbol kemewahan dan keagungan.

Kombinasi warna dalam satu kain menciptakan harmoni visual sekaligus menuturkan filosofi hidup masyarakat Kahedupa.

Proses Pembuatan Tradisional

Pembuatan tenun Pajam terdiri dari tiga tahap utama:

1. Purunga – Penggulungan benang dari kapas.

2. Oluri – Penataan pola motif di atas papan tenun.

3. Tenun manual – Proses menenun pada alat tradisional. Waktu pengerjaan satu kain bisa mencapai 20 hari hingga 2 bulan, tergantung kompleksitas motif dan ukuran kain.

Setiap rumah di Desa Pajam memiliki alat tenun, dan hampir seluruh perempuan terlibat dalam proses ini sejak remaja. Di situlah nilai spiritualitas dan kedekatan dengan warisan leluhur terpelihara.

Pelestarian dan Inovasi

Upaya pelestarian tenun Pajam dilakukan secara kolektif. Pemerintah desa, Dekranasda, hingga pegiat mode lokal bahu membahu mendukung penenun melalui pelatihan, pemasaran digital, dan pameran nasional. Pewarna alami mulai digunakan dari daun, kulit kayu, dan akar, menandakan kepedulian lingkungan.

Inovasi terus dilakukan. Kini, tenun Pajam hadir dalam bentuk syal, tas, dompet, bahkan gantungan kunci. Desainer muda pun mulai melirik tenun ini untuk dikombinasikan dengan desain kontemporer. Produk tenun bukan lagi sekadar kain sarung, tetapi telah bertransformasi menjadi simbol gaya hidup yang berakar kuat pada budaya lokal.

Dari Tradisi ke Dunia

Tenun Pajam bukan hanya cerita tentang sehelai kain. Ia adalah narasi visual tentang bagaimana perempuan desa menjaga tradisi dalam dunia yang terus berubah. Melalui setiap helai benang dan motif yang terpatri, Tenun Pajam mengingatkan kita bahwa keindahan sejati lahir dari ketekunan, kesetiaan, dan cinta terhadap warisan.

Kini, Tenun Pajam bukan lagi hanya milik Wakatobi. Ia telah menjadi milik Indonesia, bahkan dunia—sebagai simbol bahwa budaya, jika dirawat dengan cinta, akan terus hidup dan menyinari zaman. (adv)

  • Bagikan