Kendari, BKK- Dari Desa Masalili di Kecamatan Kontunaga, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, lahirlah selembar kain yang bukan sekadar busana, tetapi juga kisah—kisah tentang keberanian, kehangatan, kehormatan, dan kelestarian. Kain itu bernama Tenun Masalili, sebuah warisan budaya yang menenun kearifan lokal menjadi bagian dari masa depan.
Desa Masalili dikenal dengan tanah berbatu karst dan panorama alam yang asri. Namun dari tempat yang sederhana ini, tumbuh perajin-perajin tangguh yang setiap hari menenun warisan budaya mereka. Tenun Masalili menjadi bukti bahwa keindahan bisa lahir dari ketekunan dan kesetiaan terhadap tradisi.
Menenun bukan sekadar keahlian teknis. Di Masalili, ia adalah ritual, bagian dari kehidupan, dan identitas perempuan Muna. Anak perempuan sudah diajarkan menenun sejak remaja. Mereka tak hanya membuat kain, tetapi mewariskan kisah. Kain yang dihasilkan memiliki permukaan warna-warni khas, dengan bagian dalam tetap polos—ciri teknik tenun Sobi yang unik dan menjadi kebanggaan masyarakat lokal.
Ragam Motif, Ragam Cerita
Motif dalam tenun Masalili bukan sembarang corak. Ia adalah narasi visual. Ada motif Bhothu, dahulu dipakai bangsawan, simbol kemuliaan dan status tinggi. Motif Kamooru, garis-garis pada sarung, hanya bisa ditenun saat penenun sedang damai hatinya. Ada pula motif Polanggu—yang mengisahkan naik turunnya kehidupan manusia.
Satu motif yang menarik perhatian publik adalah motif Robu, menggambarkan bambu muda sebagai simbol makanan tradisional masyarakat Muna. Motif ini pernah dipilih khusus oleh Presiden Jokowi dan rombongan VVIP saat Hari Pers Nasional.
Pewarnaan Alami, Ketelatenan Tanpa Batas
Warna-warni terang menjadi ciri khas Tenun Masalili: merah, kuning, oranye, hijau, hingga ungu dan hitam. Bukan sembarang warna, tetapi hasil ekstraksi dari alam: kunyit, daun mangga, kulit mahoni, daun jati, hingga kayu secang. Pewarnaan dilakukan dengan teknik “siksasi”, yakni merendam benang dalam pewarna alami lalu mengikatnya agar warna lebih kuat dan tidak mudah luntur.
Proses panjang ini bisa memakan waktu hingga satu bulan untuk satu kain, terutama untuk motif-motif kompleks. Karena dikerjakan manual dan menggunakan bahan alami, satu kain bisa mencapai harga jutaan rupiah. Tapi kualitas dan nilai budayanya jelas tak ternilai.
Menenun Harapan: Dari Muna ke Dunia
Tenun Masalili kini tak hanya tampil di acara adat atau pasar lokal. Ia sudah melenggang di panggung mode nasional dan internasional. Desainer kenamaan seperti Itang Yunasz, Denny Wirawan, Didiet Maulana, dan Defrico Audy telah menjadikan tenun Masalili sebagai materi eksklusif koleksi mereka.
Kain ini pernah dipamerkan di Moskow, Rusia dan Perancis. Ia tak hanya dikenakan, tetapi diceritakan—karena di balik kain itu, ada sejarah, ada cinta, dan ada identitas.
Apresiasi dan Harapan
Dukungan dari pemerintah pun mengalir. Pj Gubernur Sulawesi Tenggara, Andap Budhi Revianto, mengunjungi langsung para pengrajin. Ia menyaksikan sendiri proses pewarnaan hingga penenunan, dan menyebutnya sebagai, “karya seni yang lahir dari tangan-tangan kreatif masyarakat Muna.”
Melalui Dekranasda dan Dinas Pariwisata, promosi tenun terus digencarkan lewat Indonesia Fashion Week, Cita Tenun Indonesia, dan Sultra Tenun Karnaval. Tidak hanya memperluas pasar, tapi juga mengangkat cerita di balik tenun—cerita yang membuatnya tetap eksklusif dan bernilai.
Tenun Masalili adalah selembar budaya yang hidup. Ia bukan hanya dipakai, tapi dibanggakan. Ia bukan hanya dilihat, tapi dirasakan. Dan melalui tangan-tangan para penenun perempuan Muna, Tenun Masalili terus menenun masa depan—sehelai demi sehelai, warna demi warna, dari Muna untuk Nusantara dan dunia.
Jika Anda berkunjung ke Muna, sempatkanlah singgah ke Desa Masalili. Di sana, Anda tak hanya bisa membeli kain tenun berkualitas tinggi, tapi juga menyaksikan langsung proses penciptaannya yang penuh makna. Sebuah pengalaman yang tak akan terlupakan. (adv)