Kendari, BKK- Di jantung Provinsi Sulawesi Tenggara, tepatnya di Pulau Buton, sebuah warisan budaya terus menenun eksistensinya di tengah derasnya arus modernisasi. Warisan itu bernama Tenun Buton, sebuah hasil karya turun-temurun yang tak hanya bernilai estetika, tetapi juga menjadi simbol kebangsawanan, spiritualitas, dan peradaban. Tenun ini bukan hanya kain, tapi juga cerminan jati diri masyarakat Buton.
Warisan dari Masa Kesultanan
Sejarah Tenun Buton tidak bisa dilepaskan dari kejayaan Kesultanan Buton—kerajaan maritim yang berjaya sejak abad ke-15. Kala itu, kain tenun bukan sekadar busana, melainkan lambang derajat sosial dan kekuasaan. Warna dan motif tertentu hanya boleh dikenakan oleh bangsawan atau pemangku adat. Lewat tenun, struktur sosial divisualkan dalam pola dan warna.
Perempuan Buton diajarkan menenun sejak belia. Kegiatan ini adalah bagian dari pendidikan budaya: latihan kesabaran, ketekunan, dan ekspresi cinta terhadap warisan leluhur. Dari tangan-tangan perempuan inilah, tenun menjadi pengikat antara generasi, antara sejarah dan masa kini.
Motif-Motif Penuh Makna
Setiap motif dalam Tenun Buton mengandung cerita dan filosofi:
* Motif Bente: Garis-garis tegas yang mencerminkan keteguhan dan kekuatan.
* Motif Kombo: Belah ketupat, simbol perlindungan dan kesuburan.
* Motif Kabanti: Terinspirasi dari syair lisan Buton (kabanti), yang merekam nilai dan sejarah lokal.
* Motif Daun Sirih dan Tali Air: Simbol persaudaraan, perdamaian, dan keselarasan hidup.
Motif-motif ini hadir bukan sekadar mempercantik, tetapi menyampaikan nilai budaya yang hidup dalam keseharian masyarakat Buton.
Simbolisme Warna dan Teknik Pewarnaan
Tenun Buton memikat mata lewat pilihan warna yang sarat makna. Pewarna alami dari tumbuhan dan akar digunakan untuk menghasilkan warna:
* Merah Tua: Keberanian dan kepemimpinan.
* Kuning Emas: Kejayaan dan kemakmuran.
* Hitam: Pelindung dan kekuatan batin.
* Putih: Kesucian dan niat tulus.
* Hijau: Harmoni dengan alam.
Pewarnaan alami menjadikan setiap kain ramah lingkungan dan unik. Tidak ada dua lembar kain yang benar-benar sama, karena setiap proses bersifat personal dan tradisional.
Proses Pembuatan: Simfoni Ketekunan
Tenun Buton dikerjakan dengan alat tenun bukan mesin (ATBM). Proses panjang ini terdiri dari:
1. Persiapan benang: Menggunakan benang katun atau sutra lokal.
2. Pewarnaan alami: Dari dedaunan, akar, dan kulit pohon.
3. Penggambaran motif: Manual, mengikuti pola yang diwariskan turun-temurun.
4. Proses tenun: Teliti dan penuh konsentrasi, agar motif dan warna tampil sempurna.
Waktu pengerjaan bisa mencapai dua hingga empat minggu, tergantung kompleksitas desain.
Dari Rumah Tenun ke Panggung Dunia
Tenun Buton tak hanya eksis di pasar lokal, tetapi juga telah tampil di ajang nasional dan internasional. Event seperti Festival Tenun Nusantara, Buton Heritage Festival, dan Indonesia Fashion Week menjadi ruang perkenalan budaya ini kepada khalayak luas.
Kolaborasi antara penenun dan desainer muda turut membawa tenun Buton ke ranah kontemporer. Kini, tenun ini hadir dalam wujud busana modern, syal, tas, taplak meja, hingga dekorasi interior. Inovasi ini menjaga eksistensinya di tengah selera pasar yang terus berubah.
Masa Depan yang Ditenun Bersama
Pelestarian tenun Buton tidak bisa dilakukan sendiri. Dibutuhkan sinergi antara pemerintah, komunitas budaya, pelaku UMKM, dan generasi muda. Langkah konkret seperti pelatihan regenerasi penenun, digitalisasi pemasaran, serta promosi melalui pameran adalah kunci.
Tenun Buton bukan hanya produk, tapi juga narasi visual sebuah peradaban. Ia adalah lembar demi lembar sejarah yang bisa disentuh, dikenakan, dan diceritakan.
Dari tangan perempuan Buton, dunia mengenal keindahan yang tak sekadar memanjakan mata, tetapi juga menggetarkan jiwa. Di antara silang benang dan warna, tersimpan semangat, ketekunan, dan cinta terhadap tanah leluhur. Dan selama masih ada yang setia menenun, budaya Buton akan terus hidup—melampaui waktu, menjangkau dunia. (adv)