Kendari, BKK- Suara godam bertalu-talu, dentingan logam panas dipukul bertubi-tubi, dan sesekali raungan gerinda menyalak dari sebuah kampung di pesisir barat Pulau Binongko, Kabupaten Wakatobi. Inilah orkestra logam yang telah mengalun sejak berabad-abad lalu dari Kelurahan Sowa, Kecamatan Togo Binongko—kampung para pandai besi legendaris yang hingga kini tak pernah hening dari dentang kerja dan bara api.
Jejak Sejarah: Toekang Besi Eilanden
Pulau Binongko, salah satu gugusan Wakatobi, pernah dijuluki oleh pelaut Belanda abad ke-17 sebagai *Toekang Besi Eilanden* atau “Pulau Tukang Besi”. Julukan ini lahir dari keterampilan menempa besi masyarakat Binongko yang begitu menonjol. Dalam tradisi lisan Binongko (Culadha Tapetape), kemampuan menempa pertama kali dibawa oleh Raja Binongko ke-4, La Soro alias Kapitan Waloindi, yang memerintah tahun 1266–1299 M.
Sejak masa Kesultanan Buton, parang Binongko menjadi alat penting dalam kehidupan masyarakat: dari berkebun, melaut, hingga menjadi simbol kedewasaan dan status sosial. Hingga kini, parang Binongko masih dijadikan mas kawin atau pusaka keluarga.
Pusat Pandai Besi: Sowa dan Sekitarnya
Kelurahan Sowa menjadi jantung produksi parang di Binongko, bersama wilayah lain seperti Kelurahan Popalia. Di Sowa saja terdapat lebih dari 90 pondok kerja aktif, masing-masing berukuran 2,5 x 3 meter, diisi dua pandai besi. Tungku arang, landasan baja, dan godam adalah peralatan pokok. Para perajin bekerja berpasangan: satu membakar dan menahan besi, satunya lagi menempanya dengan ritmis.
Proses Tempa yang Sarat Tradisi
Bahan baku parang kini berasal dari pelat bekas mobil atau per pegas kendaraan dari Surabaya. Besi dipotong sesuai ukuran, dibakar hingga membara, lalu ditempa agar membentuk bilah. Setelah dirapikan dan diasah, parang disepuh agar lebih tahan lama. Teknik ini dikenal handal: hasilnya tajam, awet, dan kuat. Bahkan, parang Binongko diyakini memiliki “jiwa”, karena dibuat dengan ketekunan dan niat baik.
Dalam tiga hari, seorang pandai besi seperti Syamsudin dari Sowa bisa memproduksi 50 parang ukuran standar. Produk-produk ini dipasarkan hingga ke Halmahera, Papua, dan Kalimantan. Menurut pedagang parang bernama Ginal, parang Binongko sangat diminati karena kualitasnya yang tak diragukan. “Selama dua tahun saya berjualan, belum pernah ada pelanggan yang komplain,” ujarnya.
Pisau Binongko: Andalan Dapur Nusantara
Tak hanya parang, Pisau Binongko juga menjadi ikon kerajinan logam dari pulau ini. Banyak ibu rumah tangga di Baubau dan sekitarnya menjadikannya sebagai alat dapur utama karena keawetannya. Meski jarang diasah, ketajamannya tetap terjaga. Di pasar Jembatan Batu Baubau, pisau-pisau ini dijual mulai Rp 25.000 dan terus diminati.
Dulu Barter, Kini Industri Kreatif
Pada masa lalu, parang Binongko dibarter dengan hasil bumi atau laut. Kini, parang menjadi produk ekonomi kreatif. Selain untuk kebutuhan sehari-hari, juga telah dijadikan cenderamata dan koleksi. Pusat pandai besi Sowa bahkan mendapat bantuan dari Kementerian Perindustrian dan Perdagangan tahun 2022. Sayangnya, belum semua fasilitas termanfaatkan maksimal karena keterbatasan SDM dalam mengoperasikan mesin peleburan dan penempa otomatis.
Jika dilakukan secara manual, seorang pengrajin hanya mampu menghasilkan 40-50 parang per hari. Namun, dengan alat otomatis, kapasitas produksi bisa mencapai 200 buah per hari. Untuk itu, edukasi teknis menjadi langkah penting dalam transformasi industri logam tradisional ini.
Parang dan pisau Binongko bukan sekadar alat, tapi jejak peradaban, simbol ketekunan, dan identitas lokal yang membentuk denyut kehidupan masyarakat pesisir Wakatobi. Dari bara api dan godam, lahirlah warisan budaya yang menyambung masa lalu dan masa depan. Warisan ini bukan hanya untuk dikenang, tapi untuk dijaga dan dikembangkan—sebagai bukti bahwa di ujung tenggara Nusantara, bara semangat tukang besi tak pernah padam. (adv)