Kaghati Kolope, Layangan Tertua di Dunia

  • Bagikan
Layangan-layang tradisional Suku Muna. (Foto: tempo.co)

Kendari, BKK- Layangan tradisional asal Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, kembali menjadi sorotan dalam kancah budaya global. Kaghati Kolope, layang-layang yang terbuat dari daun kolope (Dioscorea hispida), diklaim sebagai salah satu layangan tertua di dunia dan hingga kini terus diterbangkan sebagai bagian dari ritual adat, kerajinan tangan, serta atraksi wisata budaya.

Kerajinan ini bukan hanya bertahan di kampung halaman, tetapi juga sudah mewakili Indonesia dalam berbagai festival layang-layang internasional di Asia dan Eropa. Dalam beberapa kesempatan, Kaghati tampil di Malaysia International Kite Festival, Borneo International Kite Festival, hingga ke Dieppe International Kite Festival di Prancis.

“Setiap kali kami bawa Kaghati ke luar negeri, banyak yang tak percaya ini dari daun hutan. Bahkan banyak peserta dari Eropa dan Asia Timur menganggap ini layangan purba yang hidup kembali,” ujar La Ode Inua (62), salah satu perajin dan peserta delegasi Muna ke ajang internasional.

Kaghati dibuat dengan tangan dan hati. Daun kolope yang sudah tua dikeringkan, lalu dirangkai dengan bambu dan tali dari serat alami. Tidak ada bahan pabrikan. Bentuknya simetris sederhana, namun mampu terbang stabil dengan suara dengung yang dihasilkan dari kanda—tali bersuara yang diikat khusus di bagian atas rangka.

Menurut kepercayaan masyarakat Muna, suara tersebut bukan hanya hiasan akustik, tetapi dipercaya sebagai pengusir roh jahat sekaligus pembawa berkah panen.

“Ini bukan hanya layangan, tapi bagian dari sistem kepercayaan kami. Kaghati itu persembahan untuk alam,” tutur Inua.

Ketua Asosiasi Layang-Layang Dunia asal Jerman, Wolfgang Biech, dalam salah satu publikasinya menyebut Kaghati Kolope sebagai “living prehistoric kite”—layangan purbakala yang masih hidup. Dalam wawancaranya dengan media komunitas layangan di Jerman, ia mengakui kekagumannya pada kealamian dan makna di balik Kaghati.

“The Kaghati Kolope from Muna is possibly the world’s oldest surviving kite design. It is pure nature. No glue, no paper, no synthetics—only leaf, wood, and wisdom,” tulis Biech dalam sebuah artikel tahun 2018.

Menurutnya, dibandingkan dengan layangan dari Cina, Jepang, atau Eropa yang berasal dari masa ribuan tahun lalu, Kaghati menawarkan pendekatan berbeda: tidak dibuat untuk seni atau peperangan, tetapi untuk menjalin hubungan spiritual dengan alam dan leluhur. (adv)

  • Bagikan