Tenun Kombo: Kain Warisan Suku Moronene dari Jantung Sulawesi Tenggara

  • Bagikan
Kain tenun Moronene. (Foto: oyisultra.com)

Kendari, BKK- Di jantung Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, hidup sebuah komunitas adat yang kaya akan tradisi dan kearifan lokal: suku Moronene. Di antara beragam warisan budaya yang mereka jaga, tenun Kombo hadir sebagai simbol identitas, kekuatan spiritual, dan keanggunan estetika. Meskipun tidak sepopuler tenun dari Muna atau Wakatobi, kain Kombo menyimpan nilai filosofis yang dalam dan keunikan yang memikat.

Jejak Budaya dalam Setiap Helai

Bagi masyarakat Moronene, kain Kombo bukan hanya sekadar pelindung tubuh. Ia adalah bagian dari ritus kehidupan. Kombo digunakan dalam berbagai upacara adat seperti Pekande-kandea (ritual makan bersama), pernikahan adat, hingga penyambutan tamu agung. Dalam masyarakat Moronene, mengenakan Kombo menandakan kedewasaan, penghormatan terhadap leluhur, serta keterhubungan manusia dengan alam.

Motif Sederhana, Makna Mendalam

Tenun Kombo biasanya dihiasi dengan motif-motif geometris yang sederhana namun sarat makna. Garis-garis horizontal dan vertikal menjadi elemen utama, melambangkan harmoni, keteraturan, dan keterhubungan antara manusia, alam, dan leluhur.

Pola kotak dan zig-zag sering ditemukan sebagai simbol dinamika kehidupan—naik turun kehidupan yang harus dijalani dengan kebijaksanaan dan kesabaran.

Simfoni Warna dalam Kain

Warna-warna dalam kain Kombo tidak hanya memperindah tampilan visual, tetapi juga memuat simbol-simbol kultural:

* Merah tua: Melambangkan keberanian, semangat hidup, dan darah sebagai ikatan kekeluargaan.

* Kuning keemasan: Simbol kejayaan, kemuliaan, dan kehangatan matahari.

* Hitam: Mewakili kekuatan, keteguhan, dan koneksi spiritual dengan leluhur.

* Putih: Kesucian, kejujuran, dan permulaan yang baru.

Dahulu, warna-warna ini diperoleh dari bahan alami seperti daun jati, akar mengkudu, kulit kayu, dan daun tarum. Namun kini, sebagian penenun mulai menggunakan pewarna sintetis untuk mengejar efisiensi dan kebutuhan pasar.

Teknik dan Tradisi yang Terus Bertahan

Proses pembuatan kain Kombo masih menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM), diwariskan dari generasi ke generasi. Para perempuan Moronene mempelajari seni menenun sejak remaja, menjadikannya bagian dari perjalanan spiritual menuju kedewasaan. Proses ini mencerminkan kesabaran, ketekunan, dan nilai gotong royong dalam keluarga.

Di beberapa komunitas, teknik pewarnaan alami masih dipertahankan sebagai bentuk pelestarian kearifan lokal. Proses ini memakan waktu lebih lama, namun menghasilkan warna yang lebih tahan lama dan ramah lingkungan.

Peluang dan Tantangan

Meski memiliki nilai budaya yang tinggi, tenun Kombo menghadapi tantangan pelestarian. Jumlah penenun tradisional semakin berkurang, dan belum banyak promosi yang membawa Kombo ke panggung nasional atau internasional. Namun demikian, sejumlah festival budaya lokal, dukungan dari Dekranasda, serta keterlibatan desainer muda mulai membuka peluang baru bagi tenun ini.

Beberapa inisiatif pengembangan juga telah muncul, seperti menjadikan Kombo sebagai bahan dasar produk kreatif—tas, aksesori, hingga busana kontemporer—yang lebih mudah diterima generasi muda dan pasar global.

Kombo, Kain yang Bercerita

Kain Kombo bukan hanya produk tekstil. Ia adalah lembaran narasi hidup yang ditenun dari nilai-nilai adat, spiritualitas, dan rasa cinta terhadap tanah kelahiran. Dalam setiap helainya tersimpan cerita perempuan Moronene yang menjaga warisan, melestarikan akar, dan tetap berdiri teguh di tengah arus modernisasi.

Kini saatnya Kombo mendapat tempat yang pantas di peta wastra nasional—sebagai simbol keindahan yang bersumber dari kesederhanaan dan kekayaan budaya yang nyaris tak terdengar. (adv)

  • Bagikan