Anyaman Nentu dari Muna: Simfoni Serat di Ujung Tangan Perempuan
Kendari, BKK- Di jantung hutan-hutan liar Kabupaten Muna, tumbuh tanaman merambat yang sekilas tak menarik perhatian: Nentu, atau dikenal juga sebagai Paku Hata. Namun, di tangan-tangan perempuan tangguh dari Desa Mantobua dan Korihi, tumbuhan ini menjelma menjadi karya seni bernilai tinggi. Anyaman Nentu adalah cerminan ketekunan, kecintaan terhadap alam, dan warisan budaya yang dijaga lintas generasi.
Mengenal Nentu: Si Liar yang Istimewa
Nentu adalah sejenis tumbuhan paku dari keluarga Lygodiaceae. Ia tumbuh merambat pada batang pohon, menjalar untuk mendapatkan sinar matahari. Batangnya yang telah tua menjadi bahan utama kerajinan. Sekilas Nentu tampak seperti tanaman parasit biasa, namun kekuatannya membuatnya lebih unggul dibanding rotan. Seratnya lentur, kuat, dan awet hingga puluhan tahun.
Proses yang Penuh Dedikasi
Menganyam Nentu bukan perkara mudah. Proses dimulai dari pencarian batang tua di hutan, lalu dibelah dan dijemur hingga tiga hari lamanya. Untuk produk besar seperti *talang makanan* (dulang), dibutuhkan 4 ikat Nentu dan puluhan batang rotan kecil sebagai rangka. Bahkan, sebelum anyaman dimulai, perajin harus membuat pola dasar dengan presisi.
Salah satu pengrajin, Wa Hamdia dari Desa Korihi, menyebut waktu pembuatan talang lengkap bisa sampai 15 hari. Sementara untuk produk seperti alas piring, cukup setengah hari bagi pengrajin yang sudah terbiasa. Ketelitian dan kesabaran adalah ruh dari kerajinan ini.
Ragam Produk dan Nilai Seni
Hasil kreasi dari Nentu sangat beragam: mulai dari alas piring, tudung saji, vas bunga, tatakan, tempat tisu, gantungan kunci, hingga *bosara* (wadah kue tradisional) dan *dulang* berukuran besar. Anyaman ini dikenal kuat, rapi, dan memiliki estetika alami yang menenangkan. Bahkan, karena tampilannya yang unik dan daya tahannya, produk-produk Nentu kini banyak diburu sebagai cendera mata wisatawan.
Warisan Keluarga dan Pendidikan Budaya
Anyaman Nentu bukan sekadar keterampilan ekonomi, tetapi juga warisan seni keluarga. Keluarga La Mulini dan Wa Hamdia telah menganyam selama lebih dari 30 tahun. Kini, anak-cucu mereka, seperti Wa Ope, turut melanjutkan keahlian ini. Di sekolah-sekolah di Kecamatan Lohia, keterampilan menganyam Nentu bahkan telah menjadi bagian dari pelajaran muatan lokal.
Potensi Ekonomi dan Inovasi
Dengan harga produk yang bervariasi—mulai dari Rp25.000 untuk alas piring hingga Rp1.000.000 untuk dulang besar—anyaman Nentu menawarkan potensi ekonomi yang besar. Produk-produk ini dibuat berdasarkan pesanan, dengan pengerjaan manual yang dijalankan sepenuhnya secara tradisional.
Para pengrajin seperti Wa Nisu di Desa Mantobua bahkan menyuplai produk untuk pesanan besar, dan kerajinan mereka telah dikenal hingga di luar Muna. Pemerintah daerah dan komunitas pariwisata mulai melirik potensi ini sebagai bagian dari promosi ekonomi kreatif dan budaya.
Simbol Ketekunan dan Kearifan Lokal
Anyaman dari Paku Hata adalah bentuk nyata bagaimana kearifan lokal dapat hidup berdampingan dengan zaman. Ia bukan sekadar produk, tetapi cerita tentang hutan, perempuan, keluarga, dan budaya. Dalam tiap anyaman, tersimpan nilai filosofi tentang ketekunan, keberlanjutan, dan cinta pada warisan leluhur. Seperti serat Nentu yang kuat namun lentur, demikian pula harapan masyarakat Muna: tahan terhadap zaman, tetapi tetap berakar pada identitasnya. (adv)