Polda Tangkap 3 Aktivis Tambang di Wawonii

  • Bagikan

KENDARI, BKK- Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tenggara (Sultra), Senin (24/1), menangkap 3 warga Desa Sukarela Jaya Kecamatan Wawonii Tenggara Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep).

Masing-masing, La Dani alias Anwar dan Hastoma, ditangkap di kebun miliknya ketika tengah makan siang, sedangkan Hurlan ditangkap di rumahnya.

Pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kendari  La Ode Muh Suhardiman menyayangkan tindakan dari kepolisian menangkap ketiganya.

Suhardiman menyebutkan, ketiga orang tersebut merupakan bagian dari barisan warga penolak tambang di Pulau Wawonii.

Dimana, warga sebagian besar menggantungkan perekonomian pada sektor pertanian atau perkebunan dan laut, menentang rencana penambangan nikel oleh PT Gema Kreasi Perdana (GKP), anak perusahaan Harita Group.

“Keteguhan warga dalam melakukan penolakan atas tambang nikel itu, berujung pada ancaman, intimidasi, dan kriminalisasi, hingga pada 2019 lalu sebanyak 28 warga dilaporkan ke polisi oleh pihak perusahaan,” ujar Suhardiman melalui media perpesanan, Senin (24/1).

“Tuduhan yang dialamatkan ke warga pun macam-macam dan cenderung mengada-ada, mulai dari dugaan menghalang-halangi aktivitas perusahaan tambang, dugaan merampas kemerdekaan terhadap seseorang, tuduhan pengancaman, dan tuduhan penganiayaan,” tambahnya.

Anwar, Hastoma, dan Hurlan, sebut dia, termasuk ke dalam 28 warga yang sebelumnya telah dilaporkan ke polisi pada 23 Agustus 2019 lalu.

Kata dia, tuduhan yang dialamatkan kepada ketiganya saat itu, adalah terkait dugaan Tindak Pidana Perampasan Kemerdekaan terhadap Seseorang, sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 333 KUHP.

“Penangkapan terhadap Anwar,  Hastoma, dan Hurlan oleh polisi berikut kriminalisasi terhadap warga Wawonii pada 2019 lalu, patut diduga sebagai bentuk arogansi korporasi tambang yang rakus dan aparat kepolisian yang lebih sering tampil sebagai centeng oligarki,” ujarnya.

“Penangkapan terhadap warga penolak tambang itu, patut dibaca sebagai upaya negara melalui institusi kepolisian dan korporasi untuk menekan resistensi warga, sehingga rencana investasi penambangan dapat berjalan mulus,” tambahnya.

Lanju dia, dugaan ini semakin kuat, mengingat aparat kepolisian cenderung bersekongkol dengan korporasi yang melakukan tindak kejahatan lingkungan dan melanggar hak asasi manusia.

Dalam kaitan dengan PT GKP, Suhardiman membeberkan, pada 2019 lalu, pihak perusahaan melakukan penerobosan lahan-lahan milik warga.

Pertama, pada Selasa tanggal 9 Juli 2019 sekitar pukul 11.00 Wita, PT GKP menerobos lahan milik Ibu Marwah.

Kemudian, Selasa tanggal 16 Juli 2019 sekitar pukul 15.00 Wita di lahan milik Idris. Kemudian, Kamis tanggal 22 Agustus 2019 tengah malam, kembali menerobos lahan milik Amin, Wa Ana, dan (Alm) Labaa.

“Penerobosan lahan warga yang berulang itu dan berakibat pada rusaknya tanaman jambu mete, kelapa, pala, cengkeh, dan tanaman lainnya justru dikawal ketat aparat kepolisian,”ujar Suhardiman.

“Laporan warga kepada pihak kepolisian terkait penerobosan lahan milik masyarakat oleh PT GKP itu tak kunjung diproses, semua mengendap begitu saja. Salah satu warga Konawe Kepulauan atas nama Idris, misalnya, melaporkan PT GKP ke Polres Kendari pada Rabu 14 Agustus 2019. Serta, Idris melapor ke polisi karena lahan dan tanamannya dirusak PT GKP pada Selasa 16 Juli 2019 tidak ada kejelasan sampai sekarang,” bebernya.

Kasus 3 Tahun Lalu

Terpisah, Direktur Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Sultra Komisaris Besar Polisi (Kombespol) Bambang Wijanarko membenarkan penangkapan tersebut.

Dia membeberkan perkara ketiga tersangka ini berawal pada Jumat tanggal 23 Agustus 2019 lalu sekitar pukul 06.00 Wita.

Saat itu, sambung dia, korban sebanyak 8 orang sedang menjaga alat berat PT Gema Kreasi Perdana (GKP) bertempat di dalam lokasi IPPKH PT GKP di Desa Sukarela Jaya Kecamatan Wawonii Tenggara Konkep.

Kemudian, warga berinisial AD bersama teman menyuruh para korban untuk memindahkan alat berat yang menurut AD cs bahwa tempat parkir alat berat tersebut adalah lokasi warga bukan milik PT GKP.

“Para korban tidak mau menuruti sehingga AD cs langsung melakukan penyandaraan. Para korban dibawa di sebuah pohon jambu mete kemudia diikat. Para korban disekap selama kurang lebih 12 jam oleh AD cs. Sebelum akhirnya dibebaskan oleh rekan-rekan korban yang masih ada di lokasi,” beber Bambang melalui media perpesanan, Selasa (25/1).

Bambang mengatakan, kasus ini dilaporkan di SPKT Polda Sultra pada 24 Agustus 2019 lalu.

Dari hasil gelar perkara pada Jumat, 21 Januari 2021, polisi menetapkan 11 orang tersangka, 3 di antaranya yang ditangkap pada Senin (24/1).

“Kita telah memeriksa 14 orang saksi. Penetapan tersangka ini berdasarkan 2 alat bukti yang saksi. Betul, dari 11 orang tersangka, 3 tersangka telah kita tangkap. Insya Allah, kami mencari tersangka lain,” ujar Bambang.

Lanjut Bambang menegaskan pihaknya tidak melakukan penegakan hukum terhadap penolak tambang.

“Polda melakukan penegakan hukum atas perbuatan pidananya AD cs yang melakukan penyekapan dan penyanderaan terhadap para korban,” ujarnya.

Saat dikonfirmasi, wartawan koran ini menanyakan terkait kasusnya dilaporkan pada 2019 lalu, mengapa baru gelar perkara pada 2022 ini, Bambang enggan berkomentar.

Wartawan koran ini juga menanyakan terkait laporan warga yang melaporkan penerobosan lahan oleh PT GKP yang dilaporkan pada 2019 lalu. Kasus ini juga dilaporkan bersamaan dengan laporan penyenderaan tersebut.

Dketahui warga melaporkan kejadian tersebut di Kepolisian Resor (Polres) Kendari, namun belum ada kejelasan hingga saat ini.

“Ok (kasusnya) di Polres Kendari. Silakan konfirmasi ke Kapolres Kendari. Nanti saya juga akan tanyakan ke Polres,” janjinya. (cr2/iis)

  • Bagikan