Rektor ITK Buton Harap Penataan Ruang Laut Mampu Mewujudkan Visi Indonesia 2045

  • Bagikan
Rektor ITK Buton, Prof Ir H La Sara MS PhD (kiri) saat bersama Ketua ISKINDO, M Riza Damanik PhD menjadi narasumber dan pakar dalam topik kebijakan penataan laut Indonesia, belum lama ini, di Jakarta.

KENDARI, BKK – Keprihatinan saat ini selain krisis ekonomi global melanda seluruh dunia adalah perubahan iklim global, yang dampaknya sangat menakutkan dan tidak berbatas di seluruh dunia, dimana bisa mempengaruhi seluruh sumberdaya kehidupan mahluk hidup termasuk sumberdaya alam tak hidup. Hal ini diungkapkan Rektor Institut Teknologi Kelautan (ITK) Buton, Prof Ir H La Sara MS PhD, belum lama ini di Jakarta, saat menjadi narasumber dan pakar, dalam topik kebijakan penataan laut Indonesia. Bahkan menurutnya, seluruh negara saat ini menaruh perhatian serius mengatasi dampak yang mungkin timbul melanda kehidupan manusia di negaranya masing-masing.


Tindakan nyata yang harus dilakukan adalah, kata dia, pencegahan bencana iklim ekstrim karena pemanasan global. Laporan Panel Perubahan Iklim (The Intergovernmental Panel on Climate Change = IPCC) pada tahun 2018 memberikan peringatan tentang dampak pemanasan global ini. Dalam perjanjian paris disebutkan target yang harus dipenuhi adalah maksimal kenaikan suhu pada 1,5oC.


“Diprediksi bahwa jika pemanasan global mencapai +2°C pada tahun 2050, maka dampaknya adalah kerugian masif dalam sektor ekologi, ekonomi, sosial, dan politik, tidak terkecuali Indonesia sebagai negara kepulauan diperkirakan akan menderita kerugian ekonomi yang sangat tinggi. Adaptasi akan menjadi semakin sulit seiring dengan percepatan perubahan iklim,” ucapnya, Senin (13/2).


La Sara melanjutkan, laporan terbaru pada Januari 2023 dari World Meteorological Organization (WMO) menyebutkan, suhu rata-rata global pada 2022 mencapai 1,15°C. Diprediksi tingkat pemanasan global serta tren perubahan iklim ini masih akan tetap berlanjut, dan dikhawatirkan angkanya > 1,5°C sebagaimana ditetapkan dalam Perjanjian Paris. Kenaikan suhu global ini menimbulkan kenaikan permukaan laut pada tahun 2100 lebih tinggi daripada yang terjadi pada tahun 2014 akibat pencairan es di Antartika.


“Dampaknya terhadap sumberdaya wilayah pesisir dan lautan sangat besar, baik menyangkut kehidupan organisme, kerusakan ekosistem penting seperti coral reef, padang lamun, dan hutan mangrove, kerusakan bangunan fisik (infrastruktur) di wilayah pesisir, dan lain-lain,” paparnya.


Lebih lanjut rektor ini menerangkan, perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) melalui kebijakan Sustainable Development Goals (SDGs) diantaranya SDG-14 yang berkaitan dengan upaya pelestarian dan pemanfaatan sumber daya ikan dan laut (life below water atau ekosistem laut), merumuskan target spesifik seperti mengurangi dampak pencemaran laut, menghentikan praktik kegiatan perikanan yang merusak, mengelola ekosistem laut dan pesisir, dan menyediakan akses untuk nelayan skala kecil.


“Target ini menjadi arahan sekaligus kerangka kerja untuk pengelolaan sumber daya ikan dan laut yang lebih optimal agar sumberdaya di wilayah ini secara menyeluruh tetap berkelanjutan. Data pada tahun 2021 menunjukan bahwa kondisi laut dan perikanan di Indonesia termasuk memprihatinkan sebagaimana ditunjukan dengan skor Indeks Kesehatan Laut (Ocean Health Index = OHI) yang rendah, yaitu hanya mencapai skor 65 sehingga Indonesia berada pada peringkat ke-137 dari 221 negara. Indikator kesehatan laut Indonesia yang rendah ini dapat dikelompokkan ke dalam 3 sektor, di antaranya ekologi, sosial-ekonomi, dan kebijakan-politik,” paparnya lagi.


Mengantisipasi dampak lebih massive, lanjutnya, semua fenomena global tersebut, Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah strategis dan cepat dengan menyusun berbagai macam kebijakan nasional merumuskan peraturan perundang-undangan dalam rangka mengantispasi dampak yang ditimbulkan perubahan iklim global tersebut.


“Dukungan masyarakat sipil termasuk perguruan tinggi, LSM dan masyarakat sangat besar andilnya membantu mengatasi masalah yang dihadapi ini,” tuturnya.


Hal itu juga yang menjadi pemaparan Rektor ITK Buton, Prof Ir H La Sara MS PhD dalam diskusi mendalam bersama organisasi Pemerintah, LSM, dan para pakar yang fokus pada persoalan kelautan dan perikanan untuk bersama-sama mengembangkan Skenario Laut Indonesia 2045, pada Jumat Tanggal 10 Februari 2023, yang digelar oleh Yayasan EcoNusa dan Forum Pimpinan Perguruan Tinggi Perikanan Indonesia (FP2TPKI).


Dalam diskusi tersebut turut memberikan pandangannya antara lain Sekretaris Dirjen PRL KKP, Ketua Umum Iskindo, Prof. Dr. Edwin Aldrian, Prof. La Sara, Ph.D (Rektor Institut Teknologi Kelautan Buton/FP2TPKI), Dr. Andreas D. Patria (Kemenkomarves), Dr. Ersti Y. Sari (Dekan FIKP UMRAH/FP2TPKI), Prof. Maftuch (Ketua FP2TPKI, diwakili oleh Dr. Abubakar, Prof. Ir. Tri Winarni Agustini (Dekan FPIK UNDIP/FP2TPKI), Direktur ASPEKSINDO, Direktur WALHI, CEO IOJI, dan beberapa organisasi pemerintah dan lainya.


Dalam diskusi tersebut sepakat bahwa publik dan pengambil kebijakan dalam mengelola kelautan Indonesia memerlukan referensi kuat bercorak inklusif dari berbagai pihak kunci guna menghasilkan rekomendasi kebijakan tepat yang berpihak pada keberlanjutan mewujudkan Indonesia emas 2045.

Persiapan rumusan kebijakan ini memerlukan referensi kebijakan untuk memetakan perubahan yang perlu dilakukan guna memastikan kejayaan kelautan dan perikanan Indonesia, mendorong pengentasan kemiskinan dan pelestarian ekosistem pesisir dan pulau kecil di Indonesia.


Prof. La Sara menyampaikan, beberapa catatan penting tentang kebijakan penataan ruang laut yang telah dirumuskan pemerintah. Perumusan kebijakan tersebut sangat memperhatikan visi poros maritim dan sikap geopolitik Indonesia sebagai negara maritim yang berdaulat, maju, mandiri, kuat serta mampu memberikan kontribusi positif bagi keamanan dan perdamaian kawasan dan dunia sesuai dengan kepentingan nasional dalam rangka menyongsong Indonesia emas yang mengelola sumberdayanya salah satunya berdasarkan pendekatan klaster ekonomi maritim, yaitu perikanan, energi dan sumberdaya mineral, sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, sumberdaya non konvensional, industri bioteknologi, industri maritim, jasa maritim, wisata (pariwisata), perhubungan, bangunan laut, dan pertahanan, keamanan, penegakan hukum, dan keselamatan di laut.


“Kita semua berharap banyak bahwa sumberdaya tersebut dikelola memperhatikan keseimbangan kelestarian lingkungan dan pembangunan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan peran Indonesia sebagai pelaku utama dunia di sektor kelautan dan perikanan yang berpijak pada 3 pilar blue economy, kesehatan ekologi, dan inklusi sosial. Berdasarkan rumusan kebijakan tersebut maka kita semua berharap ada urgensi penataan ruang terintegrasi dari sudut pandang kelautan agar sumberdaya besar tersebut berkelanjutan dengan mengintegrasikan berbagai jenis kegiatan di daratan (mulai dari hulu sampai hilir) yang berpotensi memberi berdampak pada perubahan fisik dan kualitas perairan laut.

Kelestarian sumberdaya di wilayah ini bergantung pada putusan dan tindakan yang berasal dari darat karena diketahui bahwa lautan menjadi wilayah paling terdampak dari berbagai kegiatan dari daratan maupun dari lautan itu sendiri,” ungkapnya.


La Sara selanjutnya menyampaikan bahwa negara yang mempunyai 34 provinsi (327 kabupaten/kota pesisir dan 187 kabupaten/kota daratan, 131 daerah aliran sungai, 17.504 pulau kecil dengan panjang garis pantai 108.000 km sangat memerlukan penataan ruang lautan terpadu dengan daratannya yang pendekatannya melibatkan daerah aliran sungai. Penataan ruang laut dengan ruang daratan ini harus tepat, pas, serasi, dan harmonis – ibarat baut dengan mur (berbeda bentuknya tetapi terdapat ruang yang menyatukannya). La Sara menyampaikan bahwa kebijakan penataan ruang laut ini mengakomodir pendekatan integrasi perencanaan, konektivitas dan integrasi infrastruktur, dan tetap mendorong ekosistem peningkatan daya saing dan daya tahan.


Masalah urgen lainnya yang mempengaruhi potensi sumberdaya kelautan Indonesia terletak pada alur kepulauan Indonesia (ALKI) dan transportasi laut yang kemungkinan membuang sampah plastik dan bahan berbahaya lainnya.


Pada akhir presentasinya, menyampaikan catatan penting yang harus diperhatikan dengan serius dan hati-hati, yaitu peta alur migrasi biota laut, penataan ruang pesisir (terutama program pemerintah dalam pengembangan budidaya udang dalam integrated and revitalization shrimp farming program, dan marine protected area. Ruang terakhir ini sangat beralasan untuk diperhatikan karena pemerintah mengalokasikan 97,5 juta ha untuk Kawasan Konservasi Perairan. Pada tahun 2021 lalu kita baru mencapai 28,4 juta ha (8,4% dari luas perairan Indonseia). Pemerintah menarget pada tahun 2030 mencapai 32,5 juta ha (10%) dan tahun 2045 mencapai 97,5 juta ha (30%). Untuk mewujudkan rencana ini, La Sara menyarankan agar semua stakeholder serius dalam perencanaan dan berpartisipasi penuh mewujudkan pencapaian target tersebut.


“Selain itu perlu ditetapkan alokasi persentase capaian setiap provinsi/kabupaten/kota berdasarkan potensi sumberdaya laut dan luas perairan masing-masing. Hal ini sejalan dengan kebijakan Kementerian KP tentang perluasan wilayah konservasi laut sebagai salah satu pilar ekonomi biru yang diprogramkan.

Juga perhatian di daerah agar lebih menjaga penerapan pembagian zona penangkapan ikan terukur di wilayah pengelolaan perikanan (WPP), terutama di WPP 714 sebagai nursery ground sehingga pada penangkapan ikan pada zona ini sangat terbatas. Kita semua berharap bahwa penataan ruang laut dengan sumberdayanya yang mampu mewujudkan visi Indonesia 2045 di jaga keberlanjutannya dengan baik,” tutupnya. (r4)

  • Bagikan