Kendari Werk: Kerajinan Perak Sultra yang Mendunia

  • Bagikan
Teknik pembuatan kerajinan perak Kendari. (Foto: fajar.co.id)

Kendari, BKK- Di tengah gemerlap perkembangan industri kerajinan modern, nama Kendari Werk tetap bersinar sebagai salah satu warisan budaya Indonesia yang berakar kuat dan berpijak pada tradisi. Dari sebuah kota pesisir di Sulawesi Tenggara, kerajinan perak khas ini bukan hanya menampilkan keindahan visual, tetapi juga menyimpan cerita panjang tentang ketekunan, kreativitas, dan warisan lintas generasi.

Dari Sarang Laba-laba Menjadi Simbol Keindahan

Kisah Kendari Werk dimulai sekitar tahun 1920, ketika Djie A Woi—seorang perajin perhiasan keturunan Tionghoa—memulai eksperimen artistiknya di Kendari. Ia menjadikan bentuk rumit sarang laba-laba sebagai inspirasi utama untuk menciptakan motif khas pada kerajinan perak. Teknik yang digunakan disebut filigree, yaitu proses menyusun benang-benang perak halus menjadi pola yang rumit dan presisi tinggi. Hasilnya adalah karya seni yang bukan hanya memikat mata, tetapi juga menunjukkan keterampilan tangan tingkat tinggi.

Pada tahun 1926, salah satu karya Djie A Woi mewakili Hindia Belanda dalam sebuah pameran di Amsterdam. Karya itu tak hanya dipamerkan, tapi juga berhasil meraih penghargaan—menandai awal dari pengakuan internasional terhadap Kendari Werk. Sejak saat itu, permintaan terhadap produk ini mulai datang dari berbagai negara, terutama Eropa dan Australia.

Sentuhan Istana: Dari Sultra ke Kerajaan Inggris dan Belanda

Yang membuat Kendari Werk begitu istimewa bukan hanya karena tekniknya yang khas, tetapi juga karena prestise yang mengikutinya. Diceritakan bahwa Ratu Elizabeth II dari Inggris pernah memesan sebuah miniatur kereta kencana lengkap dengan empat kuda penariknya. Ratu Wilhelmina dari Belanda pun memesan talam kue khas Kendari Werk. Dua pesanan dari kerajaan besar dunia ini menjadi bukti betapa tingginya nilai seni dan daya tarik estetika produk lokal Kendari.

“Ratu Elizabeth memesan miniatur kereta kencana yang ditarik empat kuda, sedangkan Ratu Wilhelmina memesan nampan kue,” kata Muhammad Final Daeng, salah satu perajin yang masih melestarikan teknik lama itu.

Dilestarikan oleh Generasi Ketiga

Hingga kini, Kendari Werk masih bertahan dan terus ditekuni oleh generasi ketiga dari keluarga Djie A Woi. Salah satunya adalah Osink, cucu sang pelopor, yang meneruskan keahlian ini dengan penuh dedikasi. Namun, perjuangan untuk mempertahankannya tidaklah mudah. Modernisasi, minimnya regenerasi, dan kurangnya minat anak muda menjadi tantangan nyata.

Kendati begitu, upaya pelestarian terus dilakukan. Pemerintah Kota Kendari bersama Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Sulawesi Tenggara aktif menggelar pelatihan, membina para perajin, dan membuka peluang kerja sama dengan pasar lokal maupun internasional. Produk-produk Kendari Werk rutin dipamerkan dalam ajang nasional dan internasional sebagai bentuk promosi sekaligus pelestarian.

Dari Kendari ke Dunia

Hari ini, Kendari Werk tidak lagi sekadar kerajinan tangan. Ia telah menjadi simbol budaya, identitas kota, sekaligus representasi keunggulan kreativitas lokal. Di tengah gempuran produk industri massal, kehadiran karya-karya semacam ini menjadi oase yang mengingatkan kita akan nilai-nilai ketekunan, keaslian, dan penghormatan terhadap tradisi.

Sebagai bentuk pengakuan atas nilai budaya dan sejarahnya, Kendari Werk bahkan telah masuk dalam daftar warisan budaya yang diakui oleh UNESCO. Sebuah pencapaian yang tak hanya membanggakan warga Sulawesi Tenggara, tetapi juga seluruh bangsa Indonesia.

Menjaga Warisan, Merawat Identitas

Kendari Werk mengajarkan kita bahwa kerajinan bukan hanya tentang produk, melainkan juga tentang cerita. Tentang bagaimana satu generasi mewariskan nilai dan keahlian kepada generasi berikutnya. Tentang bagaimana sebuah karya bisa menembus batas-batas geografis dan menjadi bahasa universal yang dipahami semua bangsa: keindahan, dedikasi, dan keaslian.

Bagi Kota Kendari, Kendari Werk adalah lebih dari sekadar perhiasan. Ia adalah warisan hidup, warisan yang menunggu untuk terus diceritakan—dan dirawat. (adv)

  • Bagikan