Kendari, BKK- Sulawesi Tenggara bukan hanya soal laut biru dan gugusan pulau yang menawan. Di jantung daratannya, tepatnya di tanah Tolaki—terbentang warisan budaya yang memesona: kain tenun Tolaki. Kilau benangnya yang keemasan bukan hanya menghias tubuh, tapi juga menyelimuti jiwa dengan cerita-cerita luhur tentang tanah, leluhur, dan kehidupan yang menjunjung persatuan.
Suara Alat Tenun dari Lantai Rumah Panggung
Langit pagi di sebuah desa di Kabupaten Konawe baru saja terang. Di bawah rumah panggung, seorang ibu menenun dalam diam. Jemarinya menari di atas alat tenun kayu yang berdecit pelan. Di sekelilingnya, benang-benang warna jingga muda, hijau lumut, dan biru laut tertata rapi menunggu untuk disusun menjadi motif yang telah diwariskan dari nenek moyang.
“Ini motif mua,” ujarnya sambil tersenyum, “Maknanya tentang keindahan dalam kebersamaan.” Benang emas diselipkan perlahan. Jika terkena cahaya, akan muncul kilau seperti air hujan yang diterpa matahari. Karena itulah masyarakat menyebutnya “corak hujan panas.”
Motif Bukan Sekadar Hiasan
Bagi masyarakat Tolaki, motif bukan sekadar ornamen—ia adalah bahasa. Bahasa yang tak terucap, tapi mengandung pesan mendalam.
Motif kotak lima misalnya, mencerminkan struktur sosial masyarakat Tolaki dari kerajaan hingga rakyat biasa. Sementara motif rantai tiga kotak menggambarkan jembatan di atas Sungai Konawe—simbol penghubung antarwilayah dan antarhati. Motif Wulele Sanggula, berbentuk kembang, melambangkan keteguhan pemimpin dan kemakmuran rakyat.
Setiap kain membawa kisah. Setiap corak adalah doa. Setiap warna adalah lambang relasi antara manusia dan semesta.
Tidak Lengkap Tanpa Tenun
Di masyarakat Tolaki, kain tenun bukan hanya pakaian. Ia adalah bagian penting dari kehidupan sosial. Dipakai dalam pesta pernikahan adat, sebagai penghormatan bagi tamu, bahkan dibawa saat mengantar arwah menuju keabadian. Tanpa kain tenun, suatu upacara dianggap kurang sakral, bahkan terasa hampa.
Karena itu, tenun menjadi saksi dalam setiap fase kehidupan—lahir, dewasa, menikah, hingga kembali ke tanah.
Dari Tradisi Menuju Tren
Menariknya, kini tenun Tolaki juga mulai dilirik dunia fashion. Desainer muda Sultra memadukan motif-motif klasik dengan potongan modern—tanpa kehilangan makna aslinya. Kain yang dulunya hanya untuk upacara adat, kini tampil elegan di panggung-panggung nasional dan peragaan busana etnik.
Ini membuktikan bahwa warisan budaya bisa tetap hidup dan berkembang, selama ia dijaga dengan hati dan dikenalkan kepada dunia. (adv)